|
Jurnal Edunity: Kajian Ilmu Sosial dan Pendidikan Volume 1 Number 03, November, 2022 p- ISSN 2963-3648- e-ISSN 2964-8653 |
|
DINAMIKA KONFLIK BLOK BARAT-BLOK TIMUR JELANG KTT G 20 DAN SIKAP POLITIK INDONESIA
Widyanto Pudyo P. Universitas Brawijaya Malang, Indonesia E-mail: [email protected]
|
||
INFO ARTIKEL Diterima: 1 November 2022 Direvisi: 5 November 2022 Disetujui: 10 November 2022
|
ABSTRAK Penyelenggaraan KTT G20 di Indonesia berpotensi menjadi ajang perseteruan dan perdebatan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika dan Blok Timur yang dipimpin Rusia. Amerika dan Sekutunya menyadari bahwa China, India, Brasil, Afrika Selatan, Arab Saudi, atau lainnya memiliki kemungkinan untuk tidak setuju atau memveto Rusia dari G20. sementara itu Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva menyatakan bahwa Presiden Putin berencana menghadiri KTT G20 mendatang di Bali. Tidak hanya G20, banyak organisasi di Barat mencoba untuk mengusir Rusia. Organisasi Perdagangan Dunia, Organisasi Kepabeanan Dunia. Apa yang mereka coba lakukan sebenarnya adalah menghancurkan seluruh sistem perdagangan dan jaringan logistik global yang telah dibangun dengan susah payah dalam beberapa dekade terakhir. Pertanyaannya adalah mengapa ada reaksi dari Barat yang benar-benar tidak proporsional. G20 bukanlah forum untuk membahas atau menyelesaikan krisis, tetapi forum untuk memperbaiki situasi ekonomi dan memecahkan sebagian besar masalah ekonomi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus menjelang penyelenggaraan KTT G20 di Bali, Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia sebaiknya menghindari dulu berbagai pembahasan besar seperti apa cara mengakhiri perang di Ukraina. Topik yang cenderung sensitif lebih baik tidak dimunculkan di forum dan hanya disampaikan dalam pertemuan atau negosiasi bilateral. Pembahasan terkait perang Ukraina memang tidak akan dapat sepenuhnya dihindari. Tapi, setidaknya Indonesia harus punya pendekatan yang sangat hati-hati selama diskusi berlangsung dan berusaha mengarahkan dialog sedemikian rupa guna mencegah munculnya ketegangan di antara negara-negara Blok Timur dan Blok Barat. Kata kunci: Blok Barat; Konflik Amerika-Rusia; Perang Ukraina; KTT G20
ABSTRACT The holding of the G20 Summit in Indonesia has the potential to become an arena for feuds and debates between the West Block led by America and the Eastern Block led by Russia. The United States states that Russia cannot be used as a business partner in international institutions and in the international community. America and its allies have warned Indonesia if it still gives the red carpet to Vladimir Putin at the G20 Summit. America and its Allies recognize that China, India, Brazil, South Africa, Saudi Arabia, or others have the possibility to disagree with or veto Russia from the G20. Meanwhile the Russian Ambassador to Indonesia, Lyudmila Vorobieva stated that President Putin plans to attend the upcoming G20 Summit in Bali. Not only the G20, many organizations in the West are trying to expel Russia. World Trade Organization, World Customs Organization. What they are really trying to do is destroy the entire global trading system and logistics network that has been painstakingly built in the last few decades. The question is why there has been a completely disproportionate reaction from the West. The G20 is not a forum to discuss or resolve crises, but a forum to improve the economic situation and solve most economic problems. This research was conducted with a qualitative approach using a case study method ahead of the G20 Summit in Bali, Indonesia. The results of the study indicate that Indonesia should avoid major discussions on how to end the war in Ukraine. Topics that tend to be sensitive are better not raised in the forum and only presented in bilateral meetings or negotiations. Discussions related to the Ukraine war cannot be completely avoided. However, at least Indonesia must have a very careful approach during the discussion and try to direct the dialogue in such a way as to prevent tensions between the East Block and West Block countries. Keywords: West Block; American-Russian conflict; Ukrainian War; G20 Summit |
|
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International |
||
PENDAHULUAN
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 adalah suatu forum ekonomi internasional yang diadakan dengan tujuan membicarakan mengenai perekonomian global (Astuti & Fathun, 2020). Disebut G20 karena konferensi ini beranggotakan 19 negara ditambah dengan satu organisasi, yakni Uni Eropa. Anggota anggota dari G20 adalah negara -negara dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Indonesia adalah salah satu anggota G20 dan dipercaya menjadi tuan rumah event internasional ini. KTT G20 akan diadakan November tahun ini di Bali. Sejarah singkat dari G20 ini dimulai ketika para pemimpin bank sentral melakukan sebuah pertemuan untuk membicarakan kebijakan untuk stabilitas ekonomi global. Forum ini juga sebagai tempat untuk mencari solusi ketika terjadi krisis ekonomi global pada 1997-1999. November 2008 menjadi tahun pertama diadakannya KTT G20 bersama dengan pemimpin negara dari setiap anggota G20 yang diadakan di Amerika Serikat yang berlanjut hingga saat ini (Shadiq, 2019).
Indonesia masuk kategori negara dengan kekuatan ekonomi menegah sebagai anggota KTT G20. Akan tetapi Indonesia bisa saja naik ke posisi perekonomian atas berdasarkan proyeksi dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar di dunia pada 2030 mendatang. Bukan merupakan hal yang mengejutkan apabila kita melihat track record Indonesia yang pernah mendapatkan julukan ‘Macan Asia’ meskipun sekarang julukan itu menjadi ‘Macan Asia yang Tertidur’. Kondisi geografi Indonesia yang sangat strategis juga membuka potensi untuk Indonesia agar meluaskan pasar Indonesia ke seluruh penjuru dunia (Santoso, 2017).
KTT G20 adalah forum untuk dimensi ekonomi sehingga tidaklah tepat apabila memasukkan agenda perpolitikan di dalamnya. Namun hal ini semakin dipertanyakan dikarenakan insiden yang baru ini terjadi yaitu invasi Rusia ke Ukraina. Invasi ini tidak hanya merubah stabilitas perekonomian global namun juga beresiko akan memengaruhi KTT G20 itu sendiri,terutama bagi Indonesia yang menjadi tuan rumah untuk pelaksanaan KTT G20. Tekanan bagi tuan rumah paling dirasakan dari blok barat yang mana beberapa negara barat mengatakan bahwasannya mereka enggan menghadiri KTT G20 apabila Presiden Rusia Vladimir Putin hadir (Chrisnandi, 2019a).
Namun hal ini juga akan menjadi sebuah kesempatan sendiri untuk Indonesia ‘unjuk diri’ sebagai sebuah negara yang netral selayaknya dahulu kala ketika Indonesia menjadi salah satu negara pendiri gerakan Non-Blok. KTT G20 ini juga bisa menjadi salah satu kesempatan pula untuk menjaga marwah Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian selayaknya yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Indonesia, 1959) .
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani juga sempat mengatakan di media televisi Internasional bahwasanya apapun yang terjadi KTT G20 yang akan dilaksanakan November di Bali akan tetap berlangsung karena memang sebegitu pentingnya konferensi ini diadakan karena menyangkut kestabilan ekonomi di seluruh dunia. Sehingga hal ini bisa menjadi sebuah momentum tersendiri bagi Indonesia untuk memberikan sebuah citra tersendiri terhadap komunitas global dikarenakan langkah yang diambil berbeda dengan negara-negara lainnya dan bisa menjadi sebuah kesempatan emas untuk menjadikan marwah Indonesia lebih baik (Romarina, 2016).
METHODE
Jenis penelitan yang digunakan adalah deskriptif (Soendari, 2012), yaitu menggambarkan dinamika hubungan dan konflik antara Amerika sebagai entitas dari Blok Barat dan Rusia dari Blok Timur dalam Konferensi G-20 Tahun 2022 di Bali, Indonesia. Sumber data yang disajikan dalam penelitian ini adalah data sekunder , yaitu data yang diperoleh melalui telaah pustaka, baik melalui buku-buku jurnal, majalah, tulisan ilmiah, dan akses internet yang dinilai relevan dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun teknik analisa data yang digunakan adalah metode analisa ini yang menjelaskan dan menganalisis data hasil penelitian yang telah dibaca dan dirangkum dari sumber tertulis yang berhasil diperoleh, dan kemudian menyajikan hasil penelitian tersebut dalam suatu penelitian (Efrilia et al., 2016).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyelenggaraan KTT G20 di Indonesia diwarnai berbagai macam tantangan dan ancaman. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi global yang sedang berada pada posisi upnormal, dimana berbagai persoalan global masih terjadi seperti pandemi covid, krisis keuangan global dan pertikaian antara negara di berbagai belahan dunia. Perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina menjadi hal yang sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan G20 (Chrisnandi, 2019b). Hal ini terindikasi dari munculnya berbagai ancaman, psywar dan tekanan terhadap Indonesia. Salah satu bentuk tantangan dan kendala tersebut ditunjukkan sikap AS terhadap Rusia. Amerika Serikat hingga Kanada menolak rencana kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang digelar di Indonesia pada akhir tahun ini (Setiawati, 2017) . Amerika Serikat juga telah menyatakan akan memboikot sejumlah pertemuan G20 jika pejabat Rusia hadir. Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan telah menjelaskan posisi itu kepada menteri keuangan lainnya dalam grup (Yuliantoro, 2021).
Pada KTT G20 yang akan berlangsung di Bali pada 15-16 November 2022 mendatang setidaknya ada tiga kepala negara adidaya sejauh ini terkonfirmasi akan hadir. Sebelumnya pertemuan-pertemuan G20 yang kali ini dipimpin Indonesia, diwarnai isu pemboikotan terkait serangan militer Rusia ke Ukraina. Negara atau wilayah yang menjadi anggota G20 selain Indonesia, adalah Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, serta Italia. Selain itu juga ada Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa.
Seperti lazimnya setiap gelaran KTT G20, tuan rumah juga mengundang negara tamu. Salah satu yang kali ini diundang oleh Presiden Jokowi, adalah Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Serangan militer Rusia ke Ukraina sejak Februari 2022 lalu, menjadi salah satu pengganjal jalannya forum-forum pertemuan G20 yang dipimpin Indonesia kali ini. Apalagi di dalam G20 ada negara-negara Barat dipimpin AS, yang menentang serangan itu. Pada sisi lain, ada juga Rusia dan sekutunya China.
Menyusul wacana aksi boikot akibat perang Rusia-Ukraina, sejauh ini seluruh kepala negara peserta G20 terkonfirmasi hadir. Termasuk tiga kepala negara adidaya yakni Presiden AS, Joe Biden; Presiden Rusia, Vladimir Putin; Dan Presiden China, Xi Jinping. Sementara kehadiran Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, sangat bergantung pada aspek keamanan. Ketegangan di antara Barat dan Rusia serta sekutunya, menjadi salah satu hambatan KTT G20 untuk dapat menyepakati konsensus atau komunike bersama. Sebagai penggantinya akan dirilis Chairman Notes.
Sejatinya KTT G 20 ialah forum multilateral yang berfokus pada isu ekonomi global. Namun, akibat perselisihan negara-negara besar itu kini wadah itu ikut terseret ke dalam pusaran konflik geopolitik. Pemerintah sampai saat ini dilaporkan tetap mengundang seluruh anggota G20, termasuk Rusia, dalam KTT itu. Presiden Rusia Vladimir Putin dilaporkan bakal hadir. Sedangkan di sisi lain, Presiden AS Joe Biden meminta supaya Rusia dikeluarkan dari keanggotaan G20. Australia yang merupakan sekutu AS dan juga negara tetangga Indonesia mengancam tidak akan hadir dalam KTT jika Rusia tetap diundang.
Ketua Peneliti Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian Universitas Al Azhar Indonesia, Ramdhan Muhaimin, membeberkan sejumlah kondisi yang patut dipertimbangkan pemerintah dalam bersikap di tengah tekanan negara-negara besar itu. Menurutnya, Indonesia harus berhati-hati dan tetap smart (Ismail, 2019). Tentunya unsur utama yang menjadi pertimbangan dalam kalkulasi ini adalah kepentingan nasional Indonesia dalam geopolitik global.Faktor utama yang harus menjadi pertimbangan sikap Pemerintah untuk mengambil kebijakan politik luar negeri di tengah situasi yang sangat sensitif adalah persoalan ekonomi (Setiawan & Sulastri, 2017)
Dampak konflik Rusia-Ukraina terhadap perekonomian dunia lambat laun akan dirasakan juga oleh Indonesia. Sebagai contoh, Rusia dan Ukraina adalah pemasok gandum ke kawasan Timur Tengah dan Turki. Persentase ekspor gandum dari kedua negara itu mencapai 40 persen. Akibat konflik itu, pasokan gandum ke negara-negara itu perlahan terganggu. Jika pasokan gandum terganggu, maka akan memicu krisis pangan dan inflasi di Timur Tengah. Sedangkan di kawasan Timur Tengah ada Arab Saudi yang merupakan pemasok terbesar minyak bumi di dunia (Arifin, 2021) .
Krisis pangan akan memicu gangguan terhadap ekspor minyak bumi. Saat ini harga minyak bumi di pasar dunia sudah melonjak. Selain itu, sebanyak 40 persen pasokan gas untuk kawasan Eropa disuplai dari Rusia. Gas adalah salah satu unsur penting industri selain minyak bumi. Selain itu, lanjut Ramdhan, Rusia juga produsen minyak bumi besar selain Arab Saudi. Jika pasokan gas dan minyak bumi dari Rusia terganggu, maka kegiatan industri di Eropa juga bakal kerepotan. Dampaknya, ekspor berbagai komoditas Eropa ke luar juga terganggu, termasuk ke Indonesia (Prihandana, 2008).
Pertimbangan situasi perekonomian dan efek domino akibat konflik itu selayaknya menjadi perhatian Pemerintah dalam menetapkan kebijakan luar negeri terkait G20. Jika Indonesia mengikuti keinginan dan kepentingan Barat, Indonesia dinilai akan mengalami kerugian. Jika mengikuti kepentingan Rusia, Indonesia juga akan mengalami kerugian ekonomi karena banyak hubungan dagang Indonesia dengan negara-negara Barat (Pradana, 2013) .
Presiden Rusia Vladimir Putin dalam Pertemuan Tahunan ke-19 Klub Diskusi Valdai di Moskow pada 27 Oktober 2022 menyampaikan pandangannya terkait berbagai hal, dari langkah strategisnya terhadap Ukraina, ekonomi, keragaman hayati, hingga kemungkinannya menghadiri KTT G20 di Bali pada November 2022. Menurutnya, negara-negara Barat selalu memperburuk masalah. Mereka seolah kerap menunjukkan kekuatannya untuk mengatur seluruh negara-negara dunia. Menyangkal kedaulatan negara dan rakyat, dan menginjak-injak kepentingan negara lain.
Putin mengutip pernyataan Alexander Solzhenitsyn pada 1978, “Ciri khas Barat adalah kebutaan terus-menerus atas superioritas. Itu berlanjut hingga hari ini, tidak ada yang berubah. Semua negara dunia harus tunduk dan mengikuti perkembangan dalam sistem yang dikehendaki Barat. Selama hampir 50 tahun sejak itu, kebutaan yang dibicarakan Solzhenitsyn dan yang secara terbuka rasis dan neokolonial, telah memperoleh bentuk yang sangat terdistorsi, khususnya setelah muncul apa yang disebut dunia unipolar.” (Putin, en.kremlin,ru.)
Dalam arti, tatanan dunia berbasis aturan, hanya mereka yang membuat aturan yang memiliki hak, sementara semua orang hanya harus patuh. Seharusnya, semua benar-benar demokratis. Setiap masyarakat, budaya, dan peradaban harus memiliki hak memilih jalan dan sistem sosial politiknya sendiri. Putin menegaskan, jika AS dan Eropa memiliki hak itu, begitu juga semua orang. Rusia juga memilikinya, dan tidak ada yang akan pernah bisa mendikte rakyat kita masyarakat seperti apa yang harus kita bangun dan prinsip-prinsip apa yang semestinya ada.
Menurut pandangan pemompin Rusia Vladimir Putin, dunia tengah menghadapi masa paling berbahaya sejak Perang Dunia II. Hingga saat ini, dia tidak pernah menyesali kebijakan yang diambilnya terhadap Ukraina. Sebab, yang dilakukannya semata hanya menjaga kedaulatan Rusia. Menjaga ancaman yang mungkin datang dari pihak lain. Konflik ini semakin besar karena muncul hasutan. Dari menghasut konflik di Ukraina dan provokasi di sekitar Taiwan hingga mengacaukan pasar pangan dan energi dunia, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya telah meningkatkan ketegangan di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir dan terutama dalam beberapa bulan terakhir.
Putin pun membantah Moskow sedang mempersiapkan penggunaan senjata nuklir dalam perang di Ukraina. Justru, negara-negara Barat lah yang mengancam. Putin menuduh Liz Truss secara terbuka mengancam Rusia dengan serangan nuklir ketika dia menjadi Perdana Menteri. Hingga saat ini, Moskow selalu siap melakukan perundingan untuk mengakhiri konflik di Ukraina. Bagaimana dengan Kyiv? Menurut Putin, merekalah yang tidak ingin melanjutkan negosiasi dengan Rusia.
Ketika bertemu Presiden Jokowi di Istana Kremlin, Moskwa pada 30 Juni 2022, Vadimir Putin juga mengungkapkan hal sama. Putin membantah Rusia telah mengganggu rantai pasokan dan menyebabkan krisis pangan global. Sanksi Barat lah yang memperburuk keadaan. Mereka menjatuhkan pembatasan ekspor pupuk Rusia dan Belarusia, menghalangi ekspor gandum Rusia ke dunia yang membuat rumit pasar dan muatan kargo kapal pembawa pupuk.
"Memang tidak secara resmi menjatuhkan sanksi pada beberapa produk, tetapi menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga menjadi jauh lebih sulit untuk memasoknya ke pasar luar negeri. Kami berkali-kali menekankan bahwa ketidakseimbangan pasokan pangan di dunia adalah konsekuensi langsung bertahun-tahun dari kebijakan makro ekonomi beberapa negara, emisi yang tidak terkendali, akumulasi utang, dan situasi sejak awal pandemi virus corona," (TASS, 2022).
Dalam Diskusi Valdai, Presiden Vladimir Putin pun menyampaikan kemungkinannya menghadiri KTT G20 di Bali, Indonesia pada November 2022. Rusia adalah anggota G20. Selain itu, kata Putin, Rusia memiliki hubungan dekat dengan Indonesia. "Kami akan memikirkan bagaimana kami akan menanganinya. Rusia pasti akan terwakili di level tinggi. Mungkin saya akan pergi juga. Untuk saat ini, saya akan memikirkannya, kata Putin dalam sesi tanya jawab pada Pertemuan Tahunan ke-19 Klub Diskusi Valdai di Moskow. Vladimir Putin pun tak menampik, Indonesia berada di bawah tekanan internasional untuk membatalkan undangan pemimpin Rusia itu ke KTT setelah invasi Moskow ke Ukraina. “Namun, Jakarta menolak, bersikeras bahwa Putin masih diterima.”
Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva menyebut partisipasi Putin di G20 ditentukan oleh keamanan geopolitik global. Terlepas dari ketidakpastian kehadiran Putin, Vorobieva menyatakan Rusia tetap akan mengirim delegasinya ke Indonesia. Diperkirakan Putin tidak akan menghadiri KTT G20 secara langsung, yang akan menggantikan Putin adalah menteri luar negeri, Sergei Lavrov. Tapi ini hanya tebakan, bukan pernyataan resmi dari Rusia. Mungkin saja yang datang ke Bali itu pejabat tinggi lainnya, seperti perdana menteri pada Rabu, 12 Oktober 2022.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Joe Biden, dalam satu kesempatan, menyarankan Indonesia agar tidak mengundang Vladimir Putin dan menggantikannya dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Meski Ukraina bukan anggota G20, tapi Presiden Jokowi pun sudah mengundang langsung Presiden Volodymyr Zelensky untuk hadir ke KTT G20 di Bali. Pemerintah Indonesia, yang menjadi tuan rumah untuk pertemuan tahunan negara-negara yang mewakili 85% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global ini, bersikeras bahwa Indonesia harus menjembatani perdamaian bagi kedua negara yang berkonflik – entah bagaimana caranya – guna memastikan konferensi berjalan lancar.
Presiden Joko Widodo dalam misi diplomatiknya Juli lalu ke Rusia dan Ukraina menunjukkan ambisi tersebut. Padahal, sampai saat ini kunjungan kenegaraan itu belum terbukti efektif dalam mengajak pemimpin kedua negara untuk duduk bersama dan berdialog secara damai. Perang Rusia-Ukraina sendiri telah memicu munculnya kembali permusuhan antarkelompok yang melibatkan kekuatan besar, termasuk Rusia, Cina dan Amerika Serikat (AS). Hal ini tidak bisa dihindari dan di luar kendali Indonesia (CNN Indonesia, 2022). Oleh karena itu, Indonesia mungkin perlu mengurangi ambisinya untuk mendamaikan negara-negara yang bertikai secara langsung dan berfokus saja pada langkah-langkah sederhana untuk memastikan penyelenggaraan G20 berjalan lancar dan produktif, sehingga tetap dapat berkontribusi dalam menjaga stabilitas global.
Indonesia perlu lebih fokus untuk memastikan KTT G20 yang akan diselenggarakan selama dua hari tersebut berjalan lancar. Ini termasuk memastikan semua delegasi termasuk para pemimpin negara hadir secara langsung, memastikan mereka tetap di ruangan selama pertemuan dan diskusi berlangsung tanpa drama walkout (keluar rapat dalam rangka protes), sehingga nantinya dapat menghasilkan kesepakatan yang produktif.
Tantangan multidimensional akibat pandemic Covid-19 serta konflik Rusia-Amerika sepatutnya menjadikan KTT G20 sebagai forum pemangku kebijakan ekonomi utama global, yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi, memiliki kapasitas untuk mendorong pemulihan. Untuk itu, sebagai Presidensi G20, Indonesia mengusung semangat pulih bersama dengan tema “Recover Together, Recover Stronger". Tema ini diangkat oleh Indonesia, menimbang dunia yang masih dalam tekanan akibat pandemi COVID-19, memerlukan suatu upaya bersama dan inklusif, dalam mencari jalan keluar atau solusi pemulihan dunia (Kemlu, 2022)
Untuk mencapai target tersebut, Presidensi Indonesia fokus pada tiga sektor prioritas yang dinilai menjadi kunci bagi pemulihan yang kuat dan berkelanjutan, yaitu: (1) Penguatan arsitektur kesehatan global berkaca dari pandemi yang saat ini masih berlangsung, arsitektur kesehatan global akan diperkuat. Tidak hanya untuk menanggulangi pandemi saat ini, namun juga untuk mempersiapkan dunia agar dapat memiliki daya tanggap dan kapasitas yang lebih baik dalam menghadapi krisis kesehatan lain ke depannya.(2) Transformasi digital transformasi digital merupakan salah satu solusi utama dalam menggerakkan perekonomian di kala pandemi, dan telah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang baru. Untuk itu, Presidensi Indonesia akan berfokus kepada peningkatan kemampuan digital (digital skills) dan literasi digital (digital literacy) guna memastikan transformasi digital yang inklusif dan dinikmati seluruh negara. (3) Transisi energy guna memastikan masa depan yang berkelanjutan dan hijau dan menangani perubahan iklim secara nyata, Presidensi Indonesia mendorong transisi energi menuju energi baru dan terbarukan dengan mengedepankan keamanan energi, aksesibilitas dan keterjangkauan.
Berlandaskan prinsip inklusivitas, Presidensi Indonesia turut mengundang negara-negara tamu dan organisasi internasional (invitees) untuk turut berpartisipasi. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo menekankan bahwa inklusivitas ini adalah prioritas kepemimpinan Indonesia di G20, untuk mewujudkan “leave no one behind". Visinya adalah Presidensi G20 yang bermanfaat bagi semua pihak, termasuk negara berkembang, negara pulau-pulau kecil, serta kelompok rentan, dan tidak hanya demi kepentingan anggota G20 itu sendiri.
Untuk itu, Indonesia pun memberikan perhatian besar kepada negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin, termasuk negaranegara kepulauan kecil di Pasifik dan Karibia. Selain refleksi spirit of inclusiveness, hal ini juga memberikan representasi yang lebih luas kepada G20. Terdapat 9 (sembilan) negara undangan pada Presidensi G20 Indonesia, yaitu Spanyol, Ketua Uni Afrika, Ketua the African Union Development Agency-NEPAD (AU-NEPAD), Ketua Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Belanda, Singapura, Persatuan Emirat Arab, Ketua The Caribbean Community (CARICOM), dan Ketua Pacific Island Forum (PIF).
Selain itu, terdapat juga 10 organisasi internasional undangan, yaitu Asian Development Bank (ADB), Financial Stability Board (FSB), International Labour Organization (ILO), International Monetary Fund (IMF), Islamic Development Bank (IsDB), Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), World Bank, World Health Organization (WHO), World Trade Organization (WTO), dan United Nations (UN).
Di dalam G20 terdapat dua pilar pembahasan, yaitu pilar keuangan yang disebut Finance Track; yang kedua adalah pilar Sherpa Track yang membahas isuisu ekonomi dan pembangunan nonkeuangan. Setiap pilar dimaksud memiliki kelompok kerja yang disebut Working Groups. Selain kedua track di atas, juga terdapat Engagement Groups, yaitu 10 kelompok komunitas berbagai kalangan profesional, yang mengangkat berbagai topik pembahasan. Setiap kelompok Engagement Group memiliki peran penting bagi pemulihan global, terutama melalui gagasan konkrit dan rekomendasi kebijakan yang tepat sasaran untuk para pemimpin G20.
Presidensi G20 Indonesia menjadwalkan lebih dari 180 rangkaian kegiatan utama, termasuk pertemuan Engagement Groups, Pertemuan Working Groups, Pertemuan Tingkat Deputies / Sherpa, Pertemuan Tingkat Menteri, hingga Pertemuan Tingkat Kepala Negara (KTT) di Bali nanti. Rangkaian kegiatan Presidensi Indonesia akan tersebar di lebih dari 20 kota di Indonesia. Adapun 1st Sherpa Meeting di Jakarta pada tanggal 7-8 Desember 2021 menjadi pertemuan perdana pada Presidensi G20 Indonesia.
Dengan berbagai kegiatan sepanjang tahun tersebut, tentu terdapat banyak manfaat strategis dari Presidensi G20. Potensi ini dapat diukur dari aspek ekonomi, politik luar negeri, maupun pembangunan sosial. Pertama, diharapkan Presidensi G20 berdampak langsung bagi perekonomian, melalui peningkatan penerimaan devisa negara. Lebih dari 20 ribu delegasi internasional diperkirakan akan hadir kepada pertemuan yang akan diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia.
Pengalaman sebelumnya pada Presidensi Turki, Argentina, Tiongkok, dan Jepang menunjukkan adanya dampak positif ke dalam negeri. Tercatat jumlah kunjungan delegasi internasional mencapai lebih dari 13 ribu. Diperkirakan juga bahwa setiap KTT G20 menghasilkan pemasukan lebih dari $100 juta atau Rp1,4 Triliun kepada host country. Kedua, di bidang politik, sebagai Ketua G20, Indonesia dapat mendorong kerja sama dan menginisiasi hasil konkret pada ketiga sektor prioritas, yang strategis bagi pemulihan. Ini adalah momentum bagi Indonesia untuk memperoleh kredibilitas atau kepercayaan dunia, dalam memimpin pemulihan global. Dalam diplomasi dan politik luar negeri, kredibilitas adalah modal yang sangat berharga. Ketiga, di bidang pembangunan ekonomi dan sosial berkelanjutan. Presidensi G20 menjadi momentum untuk tunjukkan bahwa 'Indonesia is open for business'. Akan terdapat berbagai showcase atau event yang menampilkan kemajuan pembangunan Indonesia, dan potensi investasi di Indonesia.Diharapkan hal ini berpeluang menciptakan multiplier effect bagi perekonomian daerah karena berkontribusi bagi sektor pariwisata, akodomasi (perhotelan), transportasi, dan ekonomi kreatif, serta UMKM lokal.
Kendati demikian, dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri G20 (Foreign Ministers Meeting/FMM) di Bali pada Juli lalu, negara G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, AS dan Inggris) mengkritik Rusia secara keras dan masif selama berlangsungnya salah satu sesi diskusi. Situasi tersebut membuat Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, walkout dari ruang pertemuan. FMM pun akhirnya gagal menghasilkan kesepakatan bersama. Pada bulan yang sama, Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (Finance Ministers & Central Bank Governors’ Meeting/FMCBG) juga gagal menghasilkan kesepakatan bersama karena para delegasi yang hadir sibuk menyerang satu sama lain terkait perang di Ukraina.
Berkaca pada rangkaian acara jelang G20 yang tidak terlalu berjalan mulus tersebut, keinginan Indonesia untuk mendamaikan pihak-pihak terlibat dalam konflik Rusia-Ukraina menjadi sesuatu yang terlihat terlalu ambisius. Namun, sebagai tuan rumah KTT G20 nanti, setidaknya Indonesia dapat mengendalikan berjalannya diskusi. Ini penting agar setiap topik yang dibicarakan tidak bergeser dan menjadi “blame game”.
Langkah termudah yang dapat dilakukan Indonesia adalah memfokuskan dialog pada topik yang menjadi kepentingan bersama seluruh delegasi pertemuan. Ini termasuk mencegah krisis pangan yang akan datang – topik yang dibawa Jokowi dalam misi perdamaiannya ke Ukraina dan Rusia. Sayangnya, efek misi tersebut masih belum pasti dalam mengatasi krisis pangan global.
Indonesia sebaiknya menghindari dulu berbagai pembahasan seperti “bagaimana membantu mengakhiri perang di Ukraina”. Topik yang cenderung sensitif lebih baik tidak dimunculkan di forum dan hanya disampaikan dalam pertemuan atau negosiasi bilateral. Pembahasan terkait perang di Ukraina memang tidak akan dapat sepenuhnya dihindari. Tapi, setidaknya Indonesia harus punya pendekatan yang sangat hati-hati selama diskusi berlangsung dan berusaha mengarahkan dialog sedemikian rupa guna mencegah munculnya ketegangan di dalam ruangan.
Pemerintah Indonesia diharapkan bisa membuat para pemimpin negara yang hadir untuk mau memasuki ruang pertemuan dan duduk bersama melakukan pembicaraan yang konstruktif sesuai dengan agenda. Apalagi, kedua pihak yang bertikai sudah lama tidak berdialog secara langsung. Indonesia juga dapat memanfaatkan prinsip demokrasinya untuk menjunjung tinggi rasa saling menghormati. Misalnya, mengajak semua negara untuk meredakan ketegangan serta meyakinkan mereka bahwa sanksi ekonomi dan tekanan politik hanya akan menyebabkan konflik berkepanjangan.
Dalam konstelasi global hari ini, negara-negara Barat, dengan AS sebagai porosnya, memperkuat aliansi untuk menahan kekuatan Rusia. Di sisi lain, Rusia semakin mempererat hubungan dengan Cina. Kondisi global ini secara tidak langsung mencerminkan menguatnya kembali ketegangan antara AS dan Cina. Perang Rusia-Ukraina dan meningkatnya ketegangan di Asia Timur setelah kunjungan Ketua DPR AS, Nancy Pelosi ke Taiwan menjadi indikasi adanya upaya dari Rusia dan Cina untuk menantang dominasi global AS yang telah muncul sejak akhir Perang Dingin .
Di tengah ketegangan politik tersebut, posisi Indonesia sebagai tuan rumah G20, serta komitmennya terhadap prinsip kebijakan luar negeri “bebas dan aktif” kini sedang teruji. Dalam konflik Rusia-Ukraina, Indonesia memang tidak terlalu perlu bersikap tegas atau memihak salah satu negara. Secara geografis pun Indonesia berada jauh dari daerah konflik.
Dalam perseteruan AS-Cina, sikap Indonesia yang tidak memihak kedua raksasa ekonomi tersebut terlihat dari keputusannya untuk melaksanakan latihan ‘Super Garuda Shield’ dengan AS dan sekutunya pada Agustus lalu. Keputusan tersebut kemudian diikuti oleh ratifikasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) –kerja sama perdagangan yang dipelopori oleh Cina– oleh DPR RI pada bulan yang sama (Maulana, 2021).
Sikap dan langkah Indonesia tersebut dianggap sudah tepat. Indonesia tidak perlu sampai mendamaikan pihak yang berkonflik, namun perlu menjaga keseimbangan dan stabilitas di kawasan Asia-Pasifik dengan mempertahankan status quo AS dan China. Misi mewujudkan perdamaian masih sangat jauh. Untuk saat ini, sangat tidak realistis untuk berharap bahwa KTT G20 akan dapat mengakhiri perang Rusia-Ukraina dan mendamaikan AS-Cina. Namun demikian, Indonesia dapat membangun kepercayaan di antara negara-negara tersebut sebagai landasan pertama untuk membangun proses dialog perdamaian di masa depan. Jika Indonesia berhasil menjaga soliditas di antara anggota G20 dan menghindari meningkatnya ketegangan yang dapat menghambat kesepakatan selama KTT G20 berlangsung, itu saja sudah akan menjadi legacy (warisan) besar bagi Indonesia secara umum, dan bagi Jokowi secara khusus.
CONCLUSION
Berdasarkan hasil temuan dan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam mencermati berbagai fakta dan analisa penyelenggaraan KTT G20 di Indonesia, terlihat tingginya tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai presidensi G20 tahun ini. Indonesia tidak pernah memprediksi bahwa presidensi tahun ini akan menghadapi tantangan adanya perang yang kemudian memicu ketegangan antara negara-negara anggota G20. Jika dirunut, pecah perang di Ukraina hanya kurang dari tiga bulan setelah Indonesia menerima tampuk presidensi G20 dari Italia awal Desember tahun lalu.
Hal ini tentu saja memberi tekanan tambahan di samping tugas utama G20 yang memang sudah menantang, seperti masalah perubahan iklim dan pandemi. Presidensi G20 saat ini perlu bekerja ekstra, karena pada saat yang sama juga harus bisa terus menjaga kerja sama di antara anggota G20. Meski demikian, G20 telah mencapai kemajuan yang luar biasa sekalipun dihadapkan ketegangan tersebut. Financial Intermediary Funds (FIF) telah didirikan di bawah Bank Dunia sebagai wali amanat, dan saat ini sudah memiliki 15 donatur, 12 berasal dari G20 dan tidak semuanya adalah negara maju. Selain itu, Indonesia sebaiknya menghindari dulu berbagai pembahasan besar seperti cara mengakhiri perang di Ukraina.
Topik yang cenderung sensitif lebih baik tidak dimunculkan di forum dan hanya disampaikan dalam pertemuan atau negosiasi bilateral. Pembahasan terkait perang di Ukraina memang tidak akan dapat sepenuhnya dihindari. Tapi, setidaknya Indonesia harus punya pendekatan yang sangat hati-hati selama diskusi berlangsung dan berusaha mengarahkan dialog sedemikian rupa guna mencegah munculnya ketegangan di antara negara-negara Blok Timur dan Blok Barat.
REFERENCES
Arifin, B. (2021). Pertanian Bantalan Resesi: Resiliensi Sektor Selama Pandemi Covid-19. Indef.
Astuti, W. R. D., & Fathun, L. M. (2020). Diplomasi Ekonomi Indonesia Di Dalam Rezim Ekonomi G20 Pada Masa Pemerintahan Joko Widodo. Intermestic: Journal Of International Studies, 5(1), 47–68.
Chrisnandi, Y. (2019a). Dari Kyiv Menulis Indonesia. Madani Institute.
Chrisnandi, Y. (2019b). Dari Kyiv Menulis Indonesia. Madani Institute.
Efrilia, M., Prayoga, T., & Mekasari, N. (2016). Identifikasi Boraks Dalam Bakso Di Kelurahan Bahagia Bekasi Utara Jawa Barat Dengan Metode Analisa Kualitatif. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 1(1), 112–120.
Indonesia, R. (1959). Undang-Undang Dasar 1945. Dewan Pimpinan Pni, Department Pen. Prop. Pen. Kader.
Ismail, H. F. (2019). Islam, Konstitusionalisme Dan Pluralisme. Ircisod.
Maulana, M. R. (2021). Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership-Rcep) Dan Pengaruhnya Untuk Indonesia. Jisip (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan), 5(1).
Pradana, A. M. (2013). Indonesia Dan Putaran Bali. Global: Jurnal Politik Internasional, 15(1), 24–47.
Prihandana, R. (2008). Energi Hijau: Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri Energi. Niaga Swadaya.
Romarina, A. (2016). Economic Resilience Pada Industri Kreatif Gunamenghadapi Globalisasi Dalam Rangka Ketahanan Nasional. Jurnal Ilmu Sosial, 15(1), 35–52.
Santoso, E. (2017). Millenial Finance. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Setiawan, A., & Sulastri, E. (2017). Pengantar Studi Politik Luar Negeri. Yogyakarta: Umj Press.
Setiawati, D. S. (2017). Dilemma Indonesia Dan Hambatan Asean Untuk Menjalankan Peranan Dalam Penyelesaian Konflik Timur Tengah. Jurnal Hukum Uii, 1–3.
Shadiq, A. (2019). Implikasi Politik Dan Dampak Ekonomi Sanksi Uni Eropa Terhadap Rusia Pada Kerja Sama Energi Nuklir Uni Eropa-Rusia.
Soendari, T. (2012). Metode Penelitian Deskriptif. Bandung, Upi. Stuss, Magdalena & Herdan, Agnieszka, 17.
Yuliantoro, N. R. (2021). Menuju Kekuatan Utama Dunia: Sekilas Politik Luar Negeri Cina. Ugm Press.